Bagaimana Bersyuro

Dalam sebuah pertempuran, sekumpulan pasukan terpaksa kaget karena setelah tiba di medan perang, musuh telah berbaris seratus meter di depan mereka dengan jumlah sepuluh kali lebih banyak. Tanpa basa-basi, musuh segera merangsek maju dengan bengis. Melihat itu, seluruh pasukan tentu saja menjadi panik, bagaimana menghadapinya, apakah terus maju atau harus mundur ?

Di tengah situasi genting itu, para komandan pasukan mundur ke belakang untuk syuro, mendiskusikan langkah apa yang sebaiknya diambil. Setiap komandan ternyata memiliki pandangannya masing-masing, sehingga mereka saling melempar argumen. Setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya dicapai kata sepakat : mereka akan mundur untuk sementara.

Syuro segera dibubarkan agar semua komandan cepat-cepat memberitahu pasukannya. Tapi belum sempat menyelesaikan langkah kaki pertamanya, para komandan itu terkejut, seluruh pasukan mereka telah mati. Lebih parah lagi ketika menengok sekeliling, pasukan musuh ternyata telah mengepung mereka dengan pedang terhunus.

Kapan Kita Syuro ?

Ikhwah fillah, syuro adalah salah satu perangkat amal jama’i. Maka sebelum melangkah lebih jauh, kami ingin menyadarkan antum dengan analogi di atas, bahwa tidak setiap keadaan memerlukan syuro, tidak semua hal harus melewati proses syuro.

Awalan ini penting karena kecenderungan kader kampus akhir-akhir ini adalah terlalu “mempertuhankan” syuro. Seolah-olah semua masalah akan selesai dengan syuro. Kadang-kadang terlalu banyak waktu yang digunakan untuk syuro daripada untuk berinteraksi dengan mad’u atau melakukan aksi da’wah yang konkrit. Sampai ada yang menyebut ahlusysyuro waljama’ah.

Pada kondisi tertentu, keputusan tidak harus melalui jalur syuro. Mas’ul boleh (bahkan harus) segera mengambil keputusan tanpa harus mengadakan syuro. Begitupun dalam kondisi tertentu, seorang kader dituntut jeli mengambil inisiatif tindakan meskipun tanpa melalui jalur syuro. Kondisi tersebut adalah saat memang karena berbagai alasan, syuro tidak mungkin diadakan.

Begitulah, syuro hanyalah perangkat.

Nah, pada kondisi “normal”, syuro kembali menjadi perangkat yang paling baik untuk mengambil keputusan atau membahas berbagai hal. Hanya ingat satu kaidah dasarnya, tidak ada syuro untuk sesuatu yang telah jelas ketetapannya dalam Assunnah. Syuro hanya ada di tataran yang masih menyediakan ruang ijtihad di dalamnya. Inipun masih dipilah-pilah dalam posisi kita sebagai mahasiswa dengan tingkat ilmu dien yang belum ada apa-apanya. Ada baiknya dalam masalah tertentu kita manut pada para ulama atau minimal ustadz-ustadz kita. Maka biasanya di lembaga da’wah, syuro dikhususkan pada pembahasan manuver-manuver da’wah saja.

One response to “Bagaimana Bersyuro

  1. Budhi S. Wibowo

    syuro-syuro bergembira… ^__^

Leave a comment