Episode 1

Panas Matahari dan Tetesan Embun

Sesaat yang lalu aku mulai terlelap, segera setelah burung besi ini membawaku dari Lapangan Terbang Internasional Garwick, London. Mungkin ini perjalanan yang tidak kukehendaki. Sampai sekarang aku masih tidak bisa mengerti jalan pikiran orang itu. Tapi saat ini aku terlalu lelah untuk memikirkannya, apalagi itu hanya akan membuatku merasa semakin kesal saja. Mau bagaimana lagi, dia memang tidak bisa ditentang, meskipun sudah sering kucoba melakukannya.

”Bodo amat ! aku tidak mau mikir masalah itu lagi”, gumamku.

Paling tidak, tidak sekarang. Lagipula meskipun kupaksa membuka mata pasti tidak bisa. Apalagi yang duduk di sebelah kayaknya orangnya mbosenin. Nenek tua bermuka lesu yang mengenakan jaket tebal dengan syal merah di lehernya. Dia tidak akan banyak bicara, terkesan ketus, membuatku malas memulai obrolan dengannya.

Yah….. mending sekalian tidur aja, meskipun aku tidak pernah benar-benar bisa tidur dalam perjalanan ini. Masalahnya, tempat tujuanku itu….. tanpa kusadari menyimpan kenangan yang sampai sekarang tidak bisa dilupakan. Aku tidak mau jadi terlalu cengeng dengan mengingat-ingat dan mendramatisirnya, walaupun aku tahu kalau satu sisi hatiku sangat ingin melakukannya.

***

Kulon Progo, Agustus 1997, 13.45

Seorang anak kecil berjalan sendirian di jalanan aspal berdebu yang gersang oleh tanah dan terik matahari. Usianya sekitar tujuh tahun dengan pakaian putih hijau, kemeja dan celana panjang, pakaian anak SD di sana. Mukanya putih pucat kemerah-merahan tidak sebagaimana layaknya anak daerah itu pada umumnya, daerah pesisir yang panas. Pada musim seperti ini udara benar-benar kering di sini, hujan mungkin baru datang sebulan lagi. Saat ini adalah puncaknya kemarau.

Dia berhenti setiap beberapa langkah, membungkuk, kemudian dengan tangan kecilnya mengambili batu yang berserakan sepanjang jalan. Batu-batu sebesar buah mangga itu lalu dilemparnya ke tepi jalan satu persatu. Sepanjang perjalanan dia melakukannya. Beberapa menit yang lalu sebuah truk pengangkut batu lewat di jalan ini. Karena terlalu penuh, beberapa batu jatuh ke tengah jalan.

Pada akhirnya sang anak tiba di persimpangan. Ke kiri adalah jalan pulang ke rumahnya, ke kanan adalah jalan tembus ke pantai. Tapi, batu-batu itu belum habis berserakan mengikuti jalan ke kanan. Lapar dan panas, terik dan sendirian di tengah jalan yang dikelilingi tanah sawah yang hampir menguap kekeringan, anak kecil itu harus menentukan pilihannya……

Leave a comment