Paradoks Pengkaryaan

Pengkaryaan merupakan bagian yang sangat penting dalam kaderisasi. Sebagian kader baru masuk lembaga da’wah karena ingin berkarya untuk umat, berkontribusi dalam da’wah. Sebagian yang lain untuk mencari pengalaman organisasi. Kedua alasan ini menuntut agar kader dikaryakan (dikasih kerjaan) untuk mempertahankan keberadaan mereka di lembaga setelah kita membagi mereka ke bidang-bidang pada masa rekruitmen.

Pertimbangan masalah ini diperlukan bahkan sejak penyusunan program kerja untuk sebuah alasan yang mudah dimengerti : jika sampai semua kegiatan habis pada masa-masa krusial pengkaryaan, mustahil pengkaryaan dapat dilakukan. Kader yang tidak memiliki pekerjaan akan mencari pekerjaan lain di tempat lain.

Jalan pikiran ini wajar, karena kader tahun pertama masih berada pada proses pencarian di mana kira-kira mereka bisa berkarya. (ya… mending kalau dapatnya tempat yang bagus, kalau terjerumus ke lembaga-lembaga yang merusak akhlak dan agama gimana ? ). Dengan alasan ini pengkaryaan menjadi sesuatu yang harus dilakukan sedini mungkin.

Kami namakan paradoks karena seharusnya kader dipahamkan dulu tentang da’wah sebelum diberi beban amanah. Yang namanya pemahaman tentu saja tidak bisa selesai dalam dua-tiga hari, dia memerlukan proses yang panjang. Kader yang terlanjur berada pada kesibukan da’wah namun belum memiliki kepahaman yang cukup justru akan menjadi perusak da’wah dalam level tertentu.

Masalahnya, kenyataan bahwa pemahaman memerlukan proses yang panjang bertabrakan dengan kemendesakan pengkaryaan yang harus segera dilakukan.

Bagi kader yang sudah mengenal da’wah sejak SMA, masalah ini tidak akan terlihat terlalu menonjol. Yang perlu dilakukan pada mereka hanyalah memahamkan tentang kondisi medan da’wahnya yang baru (kondisi kampus).

Tapi kita juga harus berhati-hati pada masalah ini. Sebaiknya dicek dulu apakah proses pemahaman di SMA berjalan sebagaimana mestinya. Tidak setiap kader baru yang memiliki “pengalaman” da’wah di SMA memiliki pemahaman yang cukup tentang da’wah bahkan tentang agamanya. Bisa jadi justru salah pemahaman atau mengambil perspektif yang berlebihan.
Kalau begini kejadiannya, proses pemahaman harus dimulai dari awal lagi karena jangan-jangan sudah bermasalah dari dasarnya. Nah, jadi paradoks lagi kan ?

Di lapangan paradoks ini benar-benar sulit dihindari, lalu bagaimana kita menyikapinya ?

Satu-satunya yang mungkin dilakukan adalah melakukan proses pemahaman beriringan dengan pengkaryaan. Tapi ini tidak akan sehalus yang antum bayangkan. Karena akan sangat banyak terjadi overlap, artinya berkarya dulu baru paham. Sering berbeda dengan yang seharusnya, yaitu paham sedikit lalu diamalkan lalu dida’wahkan sambil belajar yang lain lagi, al ilmu qobla qouli wa amali. Sangat sulit mengontrol overlap ini karena kita berurusan dengan banyak kader dengan level yang sangat variatif.

Jika memang sedemikian mendesak kondisinya, kalau tidak segera dikaryakan hampir pasti akan lepas, maka kami merekomendasikan pengkaryaan hanya pada masalah teknis saja dulu. Kita beruntung karena bisa mengambil perspektif organisasi dalam memandang lembaga da’wah. Meskipun lembaga da’wah menjadi pincang jika kita memahaminya hanya dari perspektif ini, paling tidak ada celah-celah yang bisa kita manfaatkan (bingung ya ? bahasanya abstrak semua).

Ada job-job dalam lembaga da’wah yang memang lebih kental nuansa keorganisasiannya daripada nuansa “menyerunya”. Biasanya yang bersifat support atau pendukung, misalnya tugas-tugas kesekretariatan, mencetak buletin, persiapan teknis kegiatan, menata ruang seminar, mencari transportasi, jemput pembicara, survey harga jaket, piket sekretariat, bersih-bersih mushala, dan sebagainya. Job-job ini tidak berinteraksi langsung dengan mad’u tapi jelas tidak bisa dihilangkan.

Yang menjadi kunci adalah memastikan kader baru merasa tertantang dengan tugas yang diberikan kepadanya, meskipun hanya dalam tataran teknis seperti di atas. Sehingga pengemasan tugas harus menjadi perhatian. Pengkaryaan teknis ini dilakukan sembari menunggu proses pemahaman sampai paling tidak mereka memiliki kepantasan untuk tugas-tugas da’wah yang lebih serius.

Yang dimaksud lebih serius adalah kita siap menjadikan mereka sebagai icon lembaga : “ini lho kader lembaga da’wah kami !” dengan mulai menampilkan mereka di muka umum, menjadi MC atau moderator, tilawah, terlibat perencanaan kegiatan, utusan ke forum jaringan, macam-macam.

Tapi bagaimana cara melakukan proses pemahaman itu ? ini jadi masalah lagi. Setiap lembaga da’wah hampir pasti punya alur kaderisasi, tinggal diikuti saja. Hanya saja penyajiannya harus efisien. Tadi kita sudah belajar tentang dream share dan bahwa upgrading selayaknya fokus pada pembentukan ruh, ini juga termasuk proses pemahaman. Namun metode paling strategis untuk melakukan proses pemahaman adalah melalui kader lama dan para mas’ul bidang maupun mas’ul lembaga. Tentang ini akan dibahas banyak dalam Bagian Menjadi Mas’ul di belakang.

Sekali lagi ini paradoks, jadi jawabannya memang berputar-putar dan terkesan samar. Tapi sebagai penutup, dulu ada terobosan yang pernah dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa di jurusan kami.
Mahasiswa baru yang masuk diberi satu orang kakak asuh, tiap kakak asuh memegang tiga Maba. Segala sesuatu yang berkaitan dengan jurusan dan organisasi itu dapat ditanyakan seraca intensif kepada kakak asuh masing-masing. Boleh di kampus, ketemuan di kantin, bahkan main ke kamar kos. Kakak asuh juga diharapkan berupaya agar adik asuhnya bisa segera menyatu dengan organisasi dan jurusan. Bukan materi yang disampaikan (seperti AAI), tapi pendampingan personal, makanya namanya kakak dan adik asuh, harapannya benar-benar menjadi seperti kakak-adik beneran.

Nah, kalau sistem ini bisa diterapkan di tiap-tiap bidang, akan menjadi perangkat yang sangat bagus dalam melakukan pengkaryaan sekaligus pemahaman. Kader yang paling tidak satu tahun lebih lama memegang dua sampai tiga kader baru dan menjadi satu tim. Selanjutnya semua job dibagi berdasarkan tim itu seperti sebuah misi. Misalnya mencari transportasi untuk bhakti sosial, diberikan kepada satu tim yang selanjutnya semua angota tim akan bekerja menjalankan misi itu. Kakak akan menjadi “komandan” sekaligus “guru”, sehingga sangat mudah menjalankan proses pemahaman kepada adiknya di berbagai kesempatan karena ada kedekatan personal (sering bekerja bersama).

Ini seperti sistem yang diterapkan pada tentara Mongol, dimana pasukan dikelompokkan tiap sepuluh orangan dengan satu komandan yang langsung bertanggung jawab kepada panglima. Dengan ini, kecepatan pergerakan dan fleksibilitas keseluruhan pasukan menjadi sangat tinggi. Wallahu ‘alam, ini sekedar referensi saja. þ

Leave a comment