Jembatan dan Muara

Untuk memahami secara utuh kaderisasi, mau tidak mau kita harus memulai dengan memiliki konsep yang benar dulu mengenai “posisi” lembaga da’wah kita dalam kancah da’wah yang lebih luas. Apakah lembaga da’wah kita berfungsi sebagai jembatan atau muara ?

Jika berfungsi sebagai muara, maka tata kaderisasi dan pengelolaan kader akan sangat bagus jika meniru konsep-konsep yang dipakai dalam sebuah perusahaan. Dimana kader adalah karyawan yang bekerja untuk kesuksesan perusahaan. Bagaimanapun segala perlakuan yang dikenakan kepada karyawan, motifnya adalah demi kesuksesan perusahaan, demi kesuksesan Lembaga Da’wah. Baik itu berupa upgrade, pembentukan kultur kerja, standar produktivitas, pemenuhan standar mutu, asuransi, jaminan sosial, dan banyak hal lainnya.

Fokus perhatian kederisasi dalam fungsi ini adalah bagaimana kader bisa membawa Lembaga Da’wah dalam kerja-kerja yang masif di medan da’wahnya. Seperti membentuk lingkungan kampus yang islami, meramaikan kajian, atau mem-blow-up isu-isu keumatan di Fakultas. Pada akhirnya, semua perangkat kaderisasi akan diarahkan untuk membentuk kader yang kuat dalam kerja-kerja organisasi kemahasiswaan, seorang “spesialis da’wah kampus”, atau tepatnya spesialis Lembaga Da’wah Kampus.

Namun dalam fungsi sebagai jembatan, pemahamannya akan berbeda. Dasar berpikirnya adalah kader diharapkan mampu mengisi ruang-ruang da’wah dan memiliki peran besar justru ketika mereka telah keluar dari kampus. Para ikhwah sering mengistilahkannya dengan mobilitas vertikal. Sehingga fokus kaderisasi adalah mencetak seorang da’i. Perhatikan perbedaan penekanan ini dengan fungsi muara.

Ini bermula dari beberapa perspektif dasar yang membangunnya seperti bahwa da’wah yang sebenarnya adalah pasca kampus, karena kampus hanyalah lingkungan kecil yang idealis. Dengannya Lembaga Da’wah (Kampus) diposisikan sebagai tempat berlatih, semacam virtual reality.

Namun, sebuah perusahaan tentu enggan mencetak karyawan yang hebat (saking intensifnya proses pencetakan itu sampai kerja karyawan untuk perusahaan terabaikan) hanya agar karyawan tersebut bisa dipakai perusahaan lain, ini logika bisnis.

Dalam level kritis, jika kelemahan fungsi sebagai muara adalah kita menjadi tidak begitu ambil pusing dengan akan jadi apa kader setelah kepengurusannya di lembaga habis, bagaimana kontribusinya pada da’wah selanjutnya. Maka kami katakan, kelemahan fungsi jembatan adalah kenyataan bahwa dunia kampus merupakan lahan yang sangat potensial untuk pembentukan ideologi, penanaman aqidah dan syaksiyah islamiyah, justru karena keidealisannya.

Jika harus memilih salah satu, positioning ini jadi agak sulit kan ? þ

Leave a comment