Astrea Star Warna Putih


st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

Percaya kepada yang dipilihkan, karena tak selalu manusia kuasa menolak. Hari ini sebuah jalan hidup telah dihamparkan, walaupun kita tak pernah memilihnya, tak juga memintanya. Namun suka atau tidak dia harus dititi, karena kaki tak bisa berhenti menjelajahi waktu, tidak juga bisa berbalik atau menunggu.

Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah berjalan, walau tanpa tahu hendak kemana, bahkan tanpa tahu kenapa harus berjalan, hanya percaya kepada yang dipilihkan. Karena jika saatnya tiba, akan jelas semuanya. Saat itu kita akan enggan untuk hanya berjalan, yang diinginkan adalah berlari.

Lapangan Terbang Adisucipto, Yogyakarta

10 Agustus 2006, 06.15

Kalau sudah sampai call me ya…

From : Amanda

Senyuman tersungging dari bibirku. Tidak heran kalau SMS yang pertama kali masuk adalah dari Amanda, wanita keturunan Indonesia-Perancis itu adalah belahan jiwaku. Dialah orang yang memberikan paling banyak perhatian kepadaku. Sangat banyak, bahkan dibandingkan keluargaku, kalau memang itu bisa disebut keluarga.

Sesuai permintaannya, dan akupun sangat ingin melakukannya, kuangkat handphone hendak meneleponnya. Tapi sebelum sempat tersambung, seseorang memanggilku dari belakang,

“Tuan Muda Rio !”

Kuturunkan kembali tanganku lalu berbalik ke belakang. Pasti penjemputku, pikirku.

Kuperhatikan sekeliling, tidak ada seorangpun berciri-ciri penjemput seperti yang kubayangkan. Yang ada hanya nenek tua bersyal merah yang duduk di sampingku selama di pesawat tadi sedang berdiri di depanku, mengenakan sweater hitam, tampaknya dia sedang tersenyum kepadaku. Mukanya putih pucat, walaupun begitu tidak ada keriput yang bisa kulihat dari wajahnya padahal rambut pendeknya sudah putih semua.

Tapi… eh, tunggu dulu, itu bukan nenek nenek, tapi kakek kakek !

Betapa kagetnya aku.

“Selamat pagi…. Tuan Muda”, ternyata benar dia yang memanggilku tadi.

Jalan Raya Kota Jogja, 06.30

“Iya Tuan, kami sedang di jalan sekarang”

“Tuan Muda nampaknya baik-baik saja”

“Iya, Tuan”

“Iya”

“Iya, nanti saya sampaikan”

“Tiitt.. titt.. titt…”, suara itu mengakhiri percakapan.

Hebat juga kakek ini, menyetir kecepatan tinggi di jalan ramai tapi masih dengan tenangnya menerima telpon dengan tanpa ekspresi tegang.

“Dari Tuan Besar tadi, beliau titip salam untuk Tuan Muda”, kata kakek itu.

“Huh.. menyebalkan ! kalau memang niatnya ngasih salam, kan bisa telpon sendiri”, gumamku dalam hati sambil memasang wajah ketus.

Kakek itu hanya tersenyum.

Tapi heran juga, aku memang sering disuruh bepergian dan menetap beberapa waktu di berbagai negara, tapi baru kali ini aku serasa dikawal. Kakek tua ini pasti sengaja satu pesawat denganku bukan tanpa alasan. Dan begitu sampai di sini, dia seolah berperan seperti seorang bodyguard. Atau apakah ini perasaanku saja yang terlalu mengada-ada ? lagipula ternyata postur kakek ini kering kerontang, tidak ada penampilan bodyguard sama sekali.

Tetap saja ada yang mengganjal pikiranku. Kemarin ayah tampak sangat memaksaku untuk meninggalkan London. Dia memang suka memaksakan pendapat, tapi yang kemarin itu lain dari biasanya. Entah kenapa aku merasa ada nuansa yang berbeda.

“Nampaknya hubungan kalian kurang bagus ya ?”, tiba-tiba saja kakek itu memulai pembicaraan.

“Siapa ?”, aku berpura-pura tidak tahu.

“Tuan Muda… dan Tuan Besar…”

Aku menengok keluar kaca mobil, entah apa yang kupandangi, apapun itu asal aku tidak harus menjawab pertanyaannya. Kami diam beberapa lama sebelum dia membuka pembicaraan lagi.

“Apakah Tuan Muda berfikir ada yang aneh, kenapa Tuan Besar menyuruh Anda menginggalkan London ?”

Aku tetap diam berlagak tidak peduli walaupun sebenarnya sedikit kaget, kakek ini seperti bisa membaca pikiranku. Sebenarnya aku berharap dia tahu sesuatu dan mau mengatakannya, tapi aku enggan memintanya.

“Tuan Muda tidak ingin menanyakannya pada saya ?”

“Kau tahu sesuatu ?“, aku segera bereaksi mendengar ucapannya.

“Entahlah, yang pasti… beliau punya alasan melakukannya…. hehe”

Kakek itu tersenyum sambil tetap menatap lurus ke depan, sebuah senyuman kemenangan. Sial… ! aku terpancing.

Segera kupandangi lagi jalanan dari kaca mobil, tidak ada kata-kata lagi. Aku terlanjur gengsi untuk meminta kakek itu menjelaskan. Lagipula sepertinya dia tidak punya keinginan melakukannya. Aku melirik kepadanya, wajahnya memancarkan kepuasan karena berhasil menjebakku.

Jalan Raya Kota Jogja, 06.40

Jalanan semakin ramai. Tentu saja, meskipun sudah lama tapi aku masih ingat, di kota ini jam jam seperti ini semua orang memenuhi jalan bergegas ke sekolah. Hanya sekarang semakin banyak motor, tidak seperti dulu yang masih sering terlihat orang naik sepeda ontel atau jalan kaki. Aku tahu di luar sana pasti penuh dengan bising mesin dan klakson walaupun sunyi di dalam sini.

Selebar jalan penuh kendaraan bersliweran, kadang-kadang menyalib begitu saja sambil melakukan manuver zig-zag. Sesekali ada yang memotong jalur, melanggar marka, atau menyeberang. Beberapa motor bahkan naik ke trotoar saat menunggu lampu merah. Asap hitam mengepul dari knalpot bus kota tua yang sudah berkarat di beberapa bagian.

Mobil kami berhenti di lampu merah. Wajahku masam, aku tidak nyaman dengan keadaan seperti ini, sudah tiga putaran kami gagal melewati lampu merah ini. Jalan di sekitarnya sempit dan sudah penuh dengan kendaraan, macet.

“Tok ! tok! Tok!”

Seseorang mengetuk kaca mobil. Dia memberi isyarat dengan tangannya lalu menyelipkan selembar kertas melalui celah kecil yang masih terbuka di atas kaca pintu. Seorang pemuda, wajahnya tidak begitu jelas karena setengah tertutup kaca helm yang dipakainya. Hanya saja aku sedikit melihat senyuman di bibirnya.

Selembar kertas tadi jatuh di atas lututku, kuambil, sebuah leaflet hijau dengan desain minimalis bermotif dedaunan bertuliskan sebuah kalimat.

Tidak peduli keadaannya, walaupun dalam susah maupun senang,

penuhilah dunia dengan senyuman, karena senyum itu ibadah

Apa ini ? seperti menyindirku saja.

Lampu hijau menyala, orang tadi ternyata mengendarai sepeda motor dan segera melaju meninggalkan kami. Kuarahkan pandanganku mengikutinya, sepeda motor yang dipakainya menarik perhatianku. Honda Astrea Star warna putih. Memang ada banyak sekali motor seperti itu, tapi rasanya yang satu ini pernah kulihat, bahkan aku merasa sangat familiar. Mungkinkah…. ?

bersambung …….

yuliananindito.wordpress.com

Leave a comment