Episode 2

The GAME

Aku menengok ke luar menembus kaca jendela pesawat. Langit gelap diselimuti awan kelabu yang hampir tak terlihat. Tidak ada suara sama sekali di dalam sini., agaknya semua penumpang telah terlelap. Nenek tua bersyal merah yang duduk di sampingku sejak dari London tadi pun demikian. Mulanya aku kira dia akan mendengkur atau seperti apa. Untungnya tidak begitu. Sudah cukup kemarahanku hari ini, kalau ditambah lagi entah gimana jadinya.

Mataku mulai berat lagi, melihat langit di luar jendela membuatku punya perasaan yang aneh. Mengingatkanku pada Reski, diriku yang dulu ……..

***

Kulon Progo, Agustus 1997, 07.05

Matahari telah sedikit naik namun sinarnya masih lemah, belum bisa mengalahkan sisa dingin pagi hari. Kabut telah menghilang sepenuhnya, yang tersisa hanya rumput lapangan yang belum kering. Langit bersih dari awan tampak biru cemerlang. Udaranya segar dan hangat, benar-benar kondisi yang sempurna untuk sebuah pertandingan.

Dua anak berdiri tepat di tengah lapangan. Satu diantaranya menginjak bola sambil sesekali memainkannya dengan telapak kaki. Di belakangnya teman-teman mereka tersebar di seluruh penjuru setengah lapangan membelakangi Balai Desa. Satu anak dengan topi merah dan sarung tangan hitam ada di bawah gawang, mondar-mandir dari tiang ke tiang. Sudah setengah jam mereka seperti itu. Tampaknya mereka akan menjadi lawan yang tangguh.

Sementara Reski berdiri penuh keseriusan. Dalam hatinya bercampur antara senang dan tegang, berdebar-debar. Teman-temannya juga telah bersiap di posisinya masing-masing. Sebenarnya dia tidak terlalu mahir main bola. Tapi semangatnya mengalahkan segala keterbatasannya. Walaupun hanya menjadi pemain belakang, dia bertekat melakukan yang terbaik.

Pertandingan akan berlangsung dua babak, masing-masing tiga puluh menit dengan istirahat lima belas menit. Tidak ada yang istimewa dengan peraturannya. Mudahnya, jika bola masuk gawang berarti goal. Dan jika sampai melintasi selokan atau meloncati pagar bambu berarti out.

Tidak ada off side, tidak ada garis lapangan, tidak ada hakim garis, hanya seorang wasit hasil comotan dari salah satu dusun yang kalah di perempat final kemarin. Aturan-aturannya sebenarnya tidak pasti. Tapi tidak masalah karena kompetisi ini sekedar untuk bersenang-senang, tentang kebanggaan, jadi tidak ada yang merasa harus curang.

Semua pemain telanjang kaki. Di desa yang jauh dari kota seperti ini, agaknya terlalu berlebihan kalau harus punya sepatu untuk main bola. Tidak ada seragam kesebelasan ataupun segala atribut pemain bola lainnya.

Leave a comment