Episode 3

Harapan, Anak Pembawa Impian

Kota Bantul, Agustus 1997, 07.35

Pakde Sholeh perlahan tapi pasti melaju dengan motor kesayangannya, Astrea Star warna putih keluaran ’95. Menembus lalu lintas Kota Bantul pagi hari, dia dalam perjalanan pulang ke rumah dari stasiun Tugu, Kota.

Seorang anak belasan tahun membonceng di belakanngya. Mengenakan jaket biru dan celana hitam panjang, menggendong tas ransel yang penuh berisi muatan. Tangannya memegangi sebuah piala emas, kecil dengan hiasan pita warna di atasnya.

” Nanti mampir lapangan dulu Kek ya ?”, ucap anak itu

Pakde Sholeh menengok ke belakang lalu mengangguk sambil tersenyum.

Kulon Progo, 08.15

Reski dipapah dua temannya berjalan ke pohon beringin di pinggir lapangan. Langkahnya terpincang-pincang dan mukanya tertunduk, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. Tapi dari pada itu, ada yang lebih menjadikannya kepikiran.

”Bagaimana selanjutnya ?”, bisiknya dalam hati.

Mengetahui bahwa timnya hampir pasti kalah saja membuatnya diteror rasa kecewa, apalagi ditambah kenyataan bahwa dia hanya bisa duduk diam menyaksikan kekalahan itu.

Pertandingan dihentikan sementara. Angga dan teman-temannya segera berkumpul di bawah pohon beringin, mereka punya masalah serius. Ketinggalan tiga angka benar-benar menjatuhkan mental mereka. Ditambah Reski tidak bisa main lagi, tidak ada pemain penggantinya. Yang tersisa tinggal Adiknya Angga, anak TK.

Reski diam, pikirannya kacau penuh penyesalan dan keputusaan. Seolah-olah awan hitam menyelimuti kepalanya, gelap dan buntu, hujan dan petir terus menerus menyerang memaksanya terpuruk, dalam dan lebih dalam. Dia hanya bisa mendengarkan pembicaraan teman-temannya yang juga mulai kacau tanpa arah.

”Adikmu aja suruh main nNgga !” , suara dari seorang anak.

”Heh ! Masih kecil gitu, malah ngrepotin nanti”, bantah yang lain.

”Wati aja, Wati …..”, yang lain menambahkan.

”Yhe…. piye to !!?” , yang lainnya lagi menyahut.

”Udah, main aja seadanya !”, sambung anak lain.

”Ahh !!! udah, pulang aja pulang !!! ”

Reski hampir-hampir mau menutup saja telinganya. Pembicaraan itu makin meninggi, suara-suara keras mulai terdengan dan semakin sering. Lama-lama makin tidak jelas, saling menumpuk, saling berebut. Seolah yang terdengar hanya suara Wha ! Wha ! Wha ! Wha ! saja. Benar-benar kacau.

Di tengah keributan, sebuah sapaan lembut tiba-tiba terdengar dari belakang, memecah suasana yang penuh kemarahan itu..

”Assalaamu’alaykum ………. ”

Shheesssss….. Ucapan itu bagaikan air es yang disiramkan ke badan di tengah teriknya Padang Sahara, seketika itu juga menjadi dingin. Bagaikan tersihir semua anak terdiam. Suara itu bukan hanya menghentikan perdebatan mereka, tapi mungkin saja bisa menyelesaikan semua masalah mereka. Suara yang sangat akrab di telinga mereka.

Leave a comment