Batasan

Identitas

Di sebuah warung soto, empat pelanggan sedang antri untuk memesan soto yang nampaknya memang menjadi favorit karena terbukti rasanya enak. Tapi dari empat pelanggan itu, ternyata seleranya berbeda-beda sehingga pesanannya pun berbeda-beda.

Orang pertama menderita penyakit kolesterol, sehingga dia bilang kepada penjualnya : “Pak ! pesen soto satu nggak pakai daging”. Dan Sang Penjual segera melayani pelanggan ini, soto tanpa daging pun disajikan.

Orang kedua alergi kalau makan kubis, sehingga dia bilang kepada penjualnya : “Pak ! soto satu nggak pakai kubis ya..”. Dan Sang Penjual segera melayani pelanggan ini, soto tanpa kubis pun disajikan.

Orang ketiga suka yang apa adanya tanpa rasa tambahan, sehingga dia bilang kepada penjualnya : “Pak ! soto nggak pakai kecap nggak pakai jeruk nipis, satu ya !”. Dan Sang Penjual segera melayani pelanggan ini sambil tersenyum, soto tanpa kecap dan jeruk nipis pun disajikan.

Orang keempat bersegera maju menghampiri Sang Penjual Soto sambil mengangkat tangan kanannya dan berkata : “Pak ! pesen soto nggak pakai kuah !”. Sang Penjual Soto diam heran sejenak sebelum akhirnya menimpali dengan marah : “Ditambah ketupat sama sambel kacang sekalian aja mas, itu namanya Kethoprak ! noo.. kalau mau beli di ujung jalan tu !!!”, bentak Sang Penjual sambil melemparkan irus di tangannya tepat mengenai kepala orang tadi.

Ada pelajaran dari ilustrasi ini, bahwa sesuatu masih bisa disebut dengan sesuatu itu selama dia masih memiliki unsur-unsur dasar pembentuk sesuatu itu. Yang ketika unsur ini hilang, dia tidak bisa lagi disebut sebagai sesuatu itu dan telah berubah menjadi sesuatu yang lain (……..is is is… kayak filsafat aja).

Handphone disebut sebagai handphone karena dia bisa dibuat menelepon (atau SMS), tanpa kabel, dan mudah dibawa kemana-mana, meskipun dia bisa juga dibuat main game, merekam video, internet, bahkan nonton TV. Namun ketika ada suatu benda yang dilengkapi dengan aplikasi Java, kamera digital, dan GPRS tapi dia tidak bisa digunakan untuk menelpon, maka benda itu namanya bukan handphone lagi.

Lembaga Da’wah pun seperti ini, dia masih bisa disebut lembaga da’wah selama masih memiliki unsur-unsur tertentu. Dan kata “Da’wah” dalam frase ini memberikan kontribusi besar terhadap keberadaan unsur ini, sebuah identitas, karena lembaga da’wah merupakan wasilah da’wah.

Yang ingin kami ingatkan di sini adalah kenyataan bahwa kita terancam bahaya kehilangan identitas tersebut, bahasa kerennya kehilangan asholah walaupun mungkin tidak separah itu. Paling tidak dikhawatirkan yang tersisa nantinya hanyalah kata “lembaga” tanpa pantas lagi diberi embel-embel “dakwah”. Dan salah satu penyebab utamanya adalah ditinggalkannya nilai, adab, dan batasan yang seharusnya dipegang dalam sebuah lembaga da’wah.

Leave a comment