Positioning

Pertama, dalam pengambilan kebijakan atau manuver da’wah, ketika ada beberapa alternatif, akan menjadi jelas bagi kita mana yang harus dipilih. Misalnya begini : Kita memutuskan mengambil positioning untuk melayani segmen hanif dengan mengintensifkan kajian tentang Fiqh. Kemudian ada dua usulan kegiatan yang sama-sama membutuhkan anggaran dana. Pertama bedah buku Air Mata Tahajud, kedua Dauroh Fiqh Kontemporer. Dengan konsisten kepada positioning, tentu kita bisa mengambil prioritas. Ini penting untuk memastikan sumber daya dialokasikan pada tempat yang tepat, karena sumber daya itu terbatas.

Kedua, iconisasi. Iconisasi akan memudahkan mad’u mendefinisikan Lembaga Da’wah. Misalnya Smart Syuhada identik dengan gaul dan dekat dengan remaja, FLP yang identik dengan sastra dan kepenulisan, atau FOSDA identik dengan kajian islam mahasiswa. Sejauh yang kami tahu, belum ada Lembaga Da’wah Kampus tingkat fakultas atau jurusan atau universitas yang berani mengiconkan diri, melakukan differensiasi sehingga menegaskan posisinya, argumentasi untuk meraih semua segmen biasanya menjadi penghalang yang signifikan.

Dalam konteks lembaga da’wah kampus, positioning tentu agak berbeda penerapan dengan lembaga-lembaga seperti Smart, FLP, atau FOSDA di atas. Lembaga tersebut melakukan positioning dengan bergerak pada satu bidang, namun lembaga da’wah kampus melakukan positioning dengan memfokuskan gerakan pada satu bidang. Apa bedanya ?

            Bilang saja lembaga da’wah kampus memiliki bidang yang bergerak di kajian, sosial, kaderisasi, media, atau bahkan akademis. Positioning bisa dilakukan misal dengan menjadikan bidang media sebagai ujung tombak untuk pengkajian isu keumatan. Sementara bidang yang lain sebagai pendukungnya. Positioningnya bisa menjadi : momfokuskan diri pada pengkajian isu keumatan melalui media cetak . Maka akan ada alokasi anggaran yang lebih banyak untuk membuat buletin, leaflet, poster, spanduk, blog, dll dibandingkan mengadakan talkshow, seminar, atau bhakti sosial.

            Inilah positioning, mungkin antum agak canggung seolah-olah kita menafikan banyak hal, tapi “untuk mendapat kejayaan yang lebih besar, kadang ada pertempuran yang harus ditinggalkan”. Maka teruslah menjadi semakin kuat, kalau kekuatan bertambah, keterbatasan semakin kecil, makin banyak yang bisa kita rangkul. Karena pertempuran tidak bisa dimenangkan hanya dengan idealisme dan semangat. þ

Leave a comment